Oleh: Kurniati, M.Pd.
Menulis merupakan salah satu cara seseorang mengembangkan pikirannya. Dengan menulis banyak manfaat yang kita dapat. Di antaranya adalah mendorong dan memupuk kemampuan dalam menemukan, mengumpulkan, dan mengorganisasikan berbagai hal melalui tulisan. Selain itu, menulis juga menumbuhkan rasa percaya diri dan kreativitas. Semakin sering menulis semakin terasah pola berpikir.
Apalagi bagi para pendidik atau para guru. Terampil dalam menulis akan meningkatkan fungsi-fungsi profesionalitas dalam mendidik. Baik fungsi personal, interaksional, hingga fungsi estetis yaitu memenuhi rasa keindahan. Nilai rasa tentu mewakili pikiran yang dapat disampaikan lewat aksara kata-kata terpilih. Jika telah terasa nyaman, tentu berdampak baik pula terhadap kualitas pembelajaran di kelas secara khusus, dan di sekolah secara umum.
Untuk itu, program menulis semakin digalakkan agar menulis menjadi budaya di sekolah. Ya, dari terbiasa menulis, membudaya hingga mampu menularkan kepandaian “ilmu sepanjang hayat” ini kepada peserta didik. Salah satu caranya adalah dengan mengaktifkan para guru untuk menulis. Tak perlu memikirkan tulisan yang ilmiah, cukup sesuatu yang bernilai dengan tema keseharian guru untuk dijadikan topik. Jika dikaitkan dengan masalah atau tema-tema menarik, semua menarik. Asalkan memiliki keinginan untuk menjadikan suatu topik itu baik, dan kita kenal betul “arenanya”.
Saat ini, kebijakan Kurikulum Merdeka yang digulirkan pemerintah menjadi ruang yang luas bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Walau masih “meraba-raba” dengan aturan yang “dibebaskan” pemahamannya, semua mengikuti. Walau di lapangan terdapat beragam persepsi para guru, tujuan yang hendak dicapai adalah sama, mengerucut pada tujuan pendidikan nasional. Akhirnya, pemahaman Merdeka Belajar menjadi bahan tulisan. Dan hasilnya “semerdeka” hati para pembaca menanggapinya. Dengan alasan dan sudut pandang yang berbeda, beragam pula uraian yang terbaca.
Bermacam tanggapan dan harapan muncul dari para guru. Tanggapan dan harapan yang ada, menjadi lahan bagi para guru untuk dapat menuangkan pikiran. Hal ini menjadi menarik sebab pro dan kontra yang ada adalah menu yang harus dengan santai dinikmati. Setidaknya semua bermaksud baik karena dunia pendidikan adalah dunia kebaikan.
Seperti ragam pandangan yang tertuang dari tulisan para guru Sekolah Menengah Atas (Smansarisil) tentang kebijakan kurikulum saat ini, Kurikulum Merdeka. Pelaksanaan IKM dengan slogan Merdeka Belajar di sekolah, telah berjalan dan terus berjalan sampai menunggu ketetapan dan kebijakan baru lainnya. Secara garis besar, Merdeka Belajar menurut Wawan dkk. (2020;12) merupakan sebuah ikon kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, yang lebih berpihak pada kemerdekaan para guru dan sekolah dalam menjalankan tugas profesionalnya. Kurikulum ini juga merujuk pada penguatan kemandirian satuan pendidikan, dan memberikan hak yang sama pada warga negara dalam layanan pendidikan.
Sedikit menelisik tulisan/opini para guru dari beragam mata pelajaran. Mulai dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, hingga Pendidikan Seni Budaya. Adapun tema secara keseluruhan menyangkut makna kurikulum yang sedang diterapkan. Tentu saja materi penulisan yang dituangkan sejalan dengan pemahaman, pemikiran, dan pengamatan para guru.
Pemahaman guru tentang ‘merdeka belajar’ dikemas melalui pandangan masing-masing. Seperti pandangan guru Bahasa Inggris (Yuernah) yang menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka ini membuatnya dapat mengganti metode secara mudah. Sebab tidak terikat kepada aturan yang mematok gaya guru di kelas. Menurutnya, di dalam kurikulum merdeka, semua ada dan bermakna. “Tentu saja diharapkan, kita sebagai guru dan pendidik akan semakin dapat mengembangkan keprofesionalan kita sebagai sebuah profesi yang bergengsi. Fleksibellah,” katanya (Babel Pos, 4/01/23).
Lain Ibu guru Bahasa Inggris, lain pula dengan guru Informatika. Guru muda dengan mata pelajaran teknologi informatika ini, Suwarno Dwipa Putera, mempertanyakan materi dalam mata pelajaran baru di SMA (mata pelajaran Informatika). Melalui tulisannya penulis mengungkapkan “rasa gelisahnya” terhadap pemasukan materi atau capaian pembelajaran yang tidak sinkron dengan esensi peserta didik mempelajari ilmu informatika tersebut. Karena kenyataan di lapangan, peserta didik kelas 10 masih sangat buta komputer di tengah maraknya dunia internet di seputar mereka.
Ungkapnya pada situasi ini, “Padahal selayaknya, peserta didik tingkat SMA sudah mahir dalam mengoperasikan komputer karena mereka tumbuh saat teknologi sedang berkembang pesat. Secara logika, mereka telah terbiasa dengan teknologi atau alat-alat yang canggih.” Selanjutnya guru mapel informatika tersebut menyatakan,
“Pada sisi lain, dunia pekerjaan sampai saat ini masih mengandalkan komputerisasi. Artinya, ahli komputer masih dibutuhkan sampai saat ini. Lantas bagaimana jika generasi (tingkat pelajar SMA) belum bisa sama sekali mengoperasikan komputer dan baru mau belajar?” (Babel Pos, 17/01/23)
Pemikiran yang tergolong berani. Jika kita membaca ini, tentu akan menyadarkan kita (orang tua, pendidik, pemerintah) bahwa kecanggihan yang menerpa generasi saat ini belum dapat dimaknai dengan benar. Maka peribahasa orang tua-tua ‘kampung lewat kota lom sampai’ menjadi langkah “nanggung” bagi peserta didik dalam belajar informatika. Sebab, dalam kepemilikan barang canggih smartphone dan kawan-kawan—misalnya, mereka mampu, tetapi gagap dalam mengoperasikan untuk kepentingan pendidikan. Begitulah…(?)
Sementara uraian guru lain yaitu, Mirwansyah, guru kewirausahaan menganggap kurikulum Merdeka adalah kurikulum yang membawa angin segar bagi pembelajaran di sekolah khususnya untuk mata pelajaran kewirausahaan. “Kurikulum merdeka merupakan kurikulum “keleluasan”. Kurikulum ini diterapkan oleh pemerintah guna meningkatkan kompetensi kelulusan, baik mutu sekolah maupun peserta didik. Penerapan ini mengacu pada metode pembelajaran intrakulikuler. Yaitu, metode pembelajaran yang dilaksanakan melalui pendekatan bakat dan minat para peserta didik” (Babel Pos, 01/23)
Pandangan guru Bahasa Indonesia (Triani) juga menarik. Melalui kurikulum Merdeka ini, penggunaan bahasa daerah semakin terpelihara (Babel Pos, 11/01/23) Bagaimana tidak? Pada program Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) dengan tema kearifan lokal khususnya, peserta didik kerap menyajikan karya mereka dengan bahasa daerah. Ya, melalui gerakan menggali folklor (ilmu adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan) kemudian dipentaskan, memahaminya secara alami dengan bahasa daerah pula. Setidaknya proses mengetahui, memahami, dan memelihara kata-kata/bahasa daerah secara tidak langsung telah dilakukan para peserta didik.
Pandangan senada juga ditorehkan oleh guru Seni Budaya, Noni. Tajuk opininya megah, berbunyi, “Berjaya Seni Budaya di Kurikulum Merdeka.” Ibu guru muda ini menyatakan,
"Seperti kita alami bersama, ada juga mata pelajaran yang dari dahulu hingga kini selalu membuat peserta didik “happy”. Mata pelajaran apakah itu? Ya, salah satunya adalah mata pelajaran seni budaya. Dalam pembelajaran seni budaya (untuk SMA Fase E) capaian pembelajaran mengharapkan peserta didik mampu bekerja mandiri atau berkelompok dalam menghasilkan karya, mengapresiasi berdasarkan perasaan, empati, dan penilaian pada karya seni rupa dua dimensi atau tiga dimensi.” Kemudian argument lainnya,
"Pembelajaran seni budaya yang tidak memerlukan teori rumit ini, pada praktik pembelajarannya menghasilkan karya dan termasuk bahan penting dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Tentu saja, dan yang menarik, kegiatan ini selalu ditunggu-tunggu. Sebab pada moment inilah peserta didik dengan antusias yang tinggi menampilkan kepandaian mereka. Hal ini sebagai wujud eksistensi peserta didik, dan ekspektasi pembelajaran yang diterapkan pada Kurikulum Merdeka.” (Babel Pos, 16/01/23).
Artinya dengan penerapan Kurikulum Merdeka memang benar memberikan ruang gerak yang bermakna bagi mata pelajaran yang berseni ini. Demikian juga tulisan guru mapel sosiologi, matematika, penjasorkes, Pkn, geografi, kimia, Pendidikan Agama Islam, sejarah, dan fisika, semuanya menarik. Enak dibaca.
Ulasan dari beberapa guru mata pelajaran yang berbeda, menambah kaya akan pandangan tentang Merdeka Belajar. Setidaknya hal ini yang menjadikan kegiatan menulis menjadi sangat bermakna dan lebih segar bagi guru. Sebab setiap guru menuangkan benang merah penerapan kurikulum Merdeka sesuai mata pelajaran masing-masing. Semua guru dalam satu unit sekolah (Smansarisil) bersinergi membawa perubahan dan kreatif dalam menulis. Hal ini sungguh sangat menginspirasi.
Sekali lagi, dengan menulis banyak manfaat bagi kita. Kegiatan dalam menghasilkan sebuah tulisan adalah proses yang mengasah diri sendiri. Aktivitas mendorong dan memupuk kemampuan dalam menemukan, mengumpulkan, dan mengorganisasikan berbagai hal menjadi sebuah tulisan adalah ihktiar. Sebuah bentuk usaha dalam mengolah pikiran. Selain itu, menulis juga menumbuhkan rasa percaya diri dan kaya kreativitas. Semakin sering menulis semakin mengasah daya nalar kita.
Selamat menulis.