Artikel

Refleksi Kontekstual Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Reformasi Pendidikan

Pasca Indonesia merdeka, terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam potret pendidikan kita dari zaman kolonial hingga sekarang. Hal ini terlihat dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk lepas dari jerat kebodohan dengan mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta pada tahun 1922. Langkah ini merupakan momentum meningkatkan kualitas bangsa dan mereformasi pendidikan. Perjuangan Ki Hadjar Dewantara (KHD), Sang Bapak Pendidikan Indonesia ini patut diteladani bagi dunia pendidikan saat ini, karena mengajarkan kita bagaimana memerdekakan manusia untuk menjadi manusia yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Secara historis, terdapat kesamaan tujuan pendidikan antara zaman penjajahan dengan proses pendidikan saat ini. Hal ini terletak pada upaya peningkatan kualitas manusia, sehingga tercipta produktivitas kerja dan pengorganisasian pekerjaan yang baik dari masing-masing era. Meskipun perbedaan antara kedua era ini terlihat pada pembelajaran yang klasik (era kolonial) dan pembelajaran yang menyenangkan hingga inovatif dan (pada saat ini).

Selain memiliki perbedaan dalam proses pembelajarannya. Perbedaan lainnya sangat kentara pada tujuan pendidikan di era kolonial dan era revolusi industri 4.0 ini. Yang mana, pendidikan pada era kolonial hanya bertujuan mencerdaskan kalangan tertentu (golongan Belanda, pejabat pemerintahan lokal serta keluarganya), dan ihwal ini pun hanya sebatas pengetahuan dasar, yakni membaca dan menulis.

Hal ini menjadi sangat diskriminatif terhadap kalangan lainnya, seperti petani, nelayan, dan masyarakat pribumi biasa. Berbeda dengan tujuan pendidikan saat ini yang sudah memeratakan, menyejahterakan, dan memerdekaan anak didik. Tujuan pendidikan telah kembali kepada muruah filosofi KHD yang telah lama mati suri, yakni pendidikan yang mendidikkan manusia menjadi manusia yang seutuh kodratnya.

 

Asas Pendidikan ‘Menuntun’

Pendidikan dan pengajaran menjadi esensi atas asas pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara membedakan antara kata “pendidikan” dan “pengajaran” untuk memahami hakikat pendidikan kita, termasuk tujuannya. KHD menggambarkan pengajaran (onderwijs) sebagai bagian dari pendidikan. Dia mendefinisikan mengajar sebagai proses pendidikan yang memberikan pengetahuan atau manfaat untuk keterampilan hidup fisik dan mental anak-anak. Di sisi lain, ia mendefinisikan pendidikan (opvoeding) sebagai pedoman bagi semua kekuatan alam (kodrat) manusia yang dimiliki anak-anak agar mereka dapat mencapai tingkat keamanan dan kesejahteraan yang setinggi-tingginya, yaitu sebagai  manusia dan anggota masyarakat.

Ajaran dan hakikat pendidikan ini mengandung pembebasan (kemerdekaan) rakyat. Dalam hal ini, ini adalah "pendidikan" dalam desain menciptakan tempat yang layak bagi siswa untuk tumbuh, merdeka belajar, dan mampu menghargai diri sendiri dan orang lain. Untuk mendapatkan manusia bebas seperti itu, diperlukan landasan pendidikan kepemimpinan kelas. Artinya, siswa harus dipimpin oleh seorang pemandu, yakni guru, sang pemimpin pembelajaran di sekolah.

KHD mengarahkan perilaku belajar dan watak siswa di sekolah dengan menitikberatkan pada peran pendidik. Pendidik ini diibaratkan seperti seorang petani atau tukang kebun, dan siswa adalah benih tanaman yang ditabur petani (guru) di  lahan (sekolah).

Setiap bibit tanaman (siswa) ditanam dan dirawat secara berbeda. Misalnya, penanaman dan perawatan tanaman padi akan berbeda caranya jika berbicara versi jagung. Hal ini termasuk pula berbicara lahan garapan yang kurang subur sekali pun. Artinya, guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran yang ‘menuntun’ sangat esensial perannya di kelas, dimana peran pendidik ini ialah memberikan bimbingan dalam menentukan arah perkembangan anak. Ia harus memastikan bahwa anak-anak berada di jalan yang benar, tidak tersesat, dan bahkan tidak membahayakan bagi diri mereka sendiri.

Proses ‘menuntun’ ini berpedoman pada semboyan “ing ngarso suntulodo”, yaitu guru sebagai teladan dan pemberi contoh. Ada pula “ing madyo mangun karso”, yakni guru sebagai pembangun semangat dan asa peserta didik, dan “tut wuri handayani”, ialah  guru sebagai pendorong dari proses pendidikan si anak.

Dalam filosofi pendidikannya, KHD mengingatkan para pendidik untuk proaktif dan merangkul serta mengawal perubahan. Karena Indonesia memiliki kekuatan sosial budaya yang dapat menjadi proses “penebalan” kealamiahan (kodrat) anak yang masih samar. Penebalan kontekstual ini merupakan filter untuk perubahan yang mungkin mengancam identitas lokalitas dan integritas negara Indonesia.

 

Kodrat dan Budi Pekerti Anak

Ki Hadjar Dewantara mendeskripsikan dasar pendidikan berhubungan kodrat kemerdekaan anak, yaitu kodrat alam dan kodrat zamannya. Kodrat alam, yaitu terkait dengan potensi atau bakat yang mereka miliki, ras dan atau suku tempat mereka berasal, hingga karakteristik lingkungan budaya daerah mereka. Kodrat alam ialah keadaan yang karena sifat dan bentuk lingkungan di mana mereka berada.  

Menurut KHD, kodrat zaman ialah berbicara era yang dijalani anak, sehingga edukasi  di masanya menekankan pada kemampuan peserta didik yang memiliki (isi) keterampilan sesuai zamannya. Dalam ihwal kodrat zaman ini, pendidik diharapkan mampu menuntun anak untuk menyesuaikan diri (irama) dengan zaman, dan tetap menjaga harkat dan martabat kodrat alam bangsanya. Artinya, cara mengajar, cara belajar, serta interaksi antara peserta didik dan guru memiliki adaptasi akan dinamika zaman.

Contohnya, perkembangan pembelajaran serta karakteristik era peserta didik abad 20 tentu akan berbeda dengan siswa abad 21. Sehingga guru dalam ihwal ini wajib mempunyai kemampuan mengelola diri sesuai perkembangan zaman anak didiknya, termasuk menyesuaikan konten dan media pembelajaran yang kekinian agar disukai peserta didik.

Dalam kontekstual peserta didik SMA, penulis memanfaatkan media sosial instagram melalui praktik baik “Sosiologram” yang telah dimulai pada tahun 2021. Hal ini dilakukan sebagai media pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik SMA. Karena dalam media sosial ini terdapat permainan (kuis) yang bisa menjadi sumber belajar (pengetahuan dan karakter) bagi peserta didik, selain fitur-fiturnya yang memang menarik dan kaya manfaat bagi kalangan remaja.

GlobalWebIndex melakukan survei daring terhadap 5.650 anak berusia 13-15 tahun di 14 negara yang menggunakan media sosial pada kuartal I-2021. Terbukti, sebanyak 58% responden menggunakan IG setiap hari, diikuti pengguna Facebook sebanyak 53%, dan WhatsApp sebanyak 46%. Selanjutnya, peringkat ini disambung oleh pengguna TikTok sebanyak 45%, Facebook Messenger sebanyak 37%, Snapchat sebanyak 28%, dan pengguna Twitter di angka 22% (Andrea Lidwina, 2021).

Tidak hanya peserta didik SMA atau pun SMP, bahkan anak SD pun saat ini sudah memiliki akun IG. Bisa dipastikan, hampir setiap kaula muda (terutama remaja) memiliki akun IG sebagai display diri dan media wajib untuk bersosialisasi kekinian via dunia maya. Latar belakang inilah yang mendasari penulis menggunakan media sosial sebagai kodrat zaman peserta didik dalam proses pembelajaran zaman sekarang.

Inilah esensi dari pendidikan yang berpihak pada anak, atau dalam bahasa KHD, yaitu pendidikan yang “berhamba pada sang anak”. Kalimat tersirat sastra ini sungguh memiliki makna yang dalam. Artinya, untuk menggapai muara pendidikan yang sukses, seorang guru harus paham betul fase perkembangan anak (PAUD/TK, SD, SMP atau SMA), sehingga mereka bisa memaksimalkan pertumbuhan anak dengan caranya masing-masing, agar didapatkan generasi bangsa yang sejaya-jayanya dan sebahagia-bahagianya.

Hal ini tak lepas juga dari hal kodrat bermain anak. Permainan adalah bagian pembelajaran di sekolah. Oleh sebab itu, konsep bermain sambil belajar harus diilhami oleh para pendidik sebagai bagian dari alur pendidikan anak. Karena hal inilah yang akan mempermudah guru dalam mentransfer ilmu pengetahuannya, termasuk pula mewariskan budi pekerti yang baik kepada si anak.

Dalam kesempurnaan dan menciptakan pribadi yang baik. Tentu saja, peran pendidik di sekolah mungkin bukan yang terpenting. KHD menjelaskan bahwa keluarga sebenarnya adalah tempat yang paling penting, bahkan terbaik, untuk membentuk jiwa sosial dan karakter anak. Keluarga merupakan tempat tumbuh kembang anak, dimana mereka dapat menyesuaikan karakter, kepemimpinan diri, perhatian, sesuai dengan ajaran orang tuanya. Oleh karena itu, peran orang tua adalah sebagai guru dan contoh untuk menumbuhkan karakter baik anak itu dari rumah.

Budi pekerti atau karakter yang baik adalah kunci keharmonisan dan kesuksesan dalam kehidupan seorang anak. Tidak hanya guru yang memiliki peran  berpengaruh dalam hal ini, tetapi juga orang tua harus terlibat dan bekerja sama dengan baik dengan pihak sekolah. Ini tidak dilakukan hanya untuk memerdekakan anak-anak dan mencapai kebahagiaan terbesar mereka. Namun sebenarnya mencapai kesejahteraan sosial di Indonesia.

Penulis: 
Ares Faujian, S.Pd
Sumber: 
BTIKP
Tags: 
Refleksi Kontekstual Pemikiran Sang Ki Hadjar Dewantara