Oleh : Rio Kurnuawan, S,Pd., M.Pd.
Menjadi tanggung jawab guru untuk dapat membaca siswa dan mengenali berbagai bakat, potensi, gaya belajar, dan kecerdasan mereka. Suka atau tidak suka, beberapa sekolah terus mengajar dengan cara yang monoton, berpusat pada guru, kontekstual, dan, hanya berbasis kognitif. Sesuai dengan tujuan Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, keinginan semua satuan pendidikan SD, SMP, dan SMA adalah memberikan pembelajaran yang ideal. Guru dan siswa menyampaikan semua konten dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 37 Tahun 2018 dengan mencapai level kognitif dan keterampilan hingga level C6. Berkarakter sesuai dengan Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pembelajaran yang menarik, berbasis proyek dan aktivitas, mampu menguasai literasi dan mengembangkan daya nalar, namun harapan sebelumnya tidak ada yang terpenuhi.
Ketidakmampuan siswa untuk memahami materi, partisipasi yang rendah, dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan merumuskan solusi untuk masalah yang diberikan guru semuanya mengarah pada hal ini. Ketika siswa lebih aktif dan guru hanya menjadi penonton kecerdasan siswa dalam bidang kemajuan IT, sebagian guru merasa biasa saja. Selama masuk kelas tanpa memperhatikan kemampuan siswa dalam menyerap informasi, beberapa guru hanya memberi nilai saat menerima raport. Lalu, bagaimana kita menetapkan “guru penggerak” sebagai terobosan yang mendorong pendidikan progresif tanpa membentuk “kasta” baru guru di era industri 4.0 menuju 5.0.
Peran guru sebagai perintis agen perubahan bagi siswanya sangat menentukan. Meskipun prevalensi teknologi dalam pendidikan meningkat, guru tidak akan tergantikan. Dalam rangka menumbuhkembangkan profil pelajar pancasila pada siswanya, para guru penggerak (GP) secara sadar menanamkan nilai-nilai peran GP dan profil siswa Pancasila pada dirinya. Mengenai visi GP, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri” Hanya alam yang dapat dipupuk dan dibimbing dalam perkembangannya oleh para pendidik. Tampaknya semua orang ingin menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa yang aman, nyaman, dan bermakna.
Diperlukan upaya yang konsisten dan perubahan mendasar. Salah satu tujuan visi adalah untuk menghasilkan perubahan yang lebih unggul dari situasi saat ini. Visi memungkinkan kita untuk membayangkan garis akhir yang kita inginkan dan melihat situasi saat ini sebagai titik awal. Di sekolah, perubahan positif dan konstruktif biasanya membutuhkan waktu dan biasanya bertahap. Akibatnya, guru kompetisi terus menjalankan manajemen diri dan berusaha meyakinkan orang lain di bawah pengaruhnya untuk menjalani proses perubahan ini bersama-sama.
Untuk mewujudkan visi sekolah, hal ini harus dilakukan dengan niat belajar yang sungguh-sungguh. Untuk mencapai tujuan sekolah diperlukan suatu pendekatan atau paradigma. GP dapat mempertimbangkan prosedur disiplin yang digunakan selama ini dan masa depan siswa. Mempelajari cara berpikir kritis, kreatif, reflektif, dan dengan pikiran terbuka untuk penemuan diri. (Sudira, 2016) sampai pada kesimpulan, berdasarkan pelatihannya dalam teori penelitian dan kontrol, bahwa guru, orang tua, dan pengawas melakukan kontrol dalam lima cara berbeda: teman, pengawas, manajer, mereka yang membuat orang merasa buruk, dan model pembelajaran yang menghukum. Jika belajar siswa adalah tujuan akhir pendidikan, maka tidak ada cara lain untuk mencapainya kecuali semua guru siap untuk belajar sepanjang hayat, ikhlas, dan mau berefleksi, agar semangat guru tidak hilang dalam perbincangan ilmu dan masa depan.
Menggunakan paradigma pembelajaran baru, guru penggerak menciptakan pendidikan yang progresif. Guru menggunakan model pembelajaran yang bervariasi, melakukan penilaian belajar siswa, mengelompokkan siswa sesuai dengan kemampuannya, menyiapkan bahan ajar, dan melakukan refleksi. Model pembelajaran harus mencerminkan pembelajaran kontemporer agar dapat bertahan di abad 21. Model pembelajaran yang berfungsi sebagai panduan untuk melakukan pembelajaran yang sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan sintaksis, sistem sosial, prinsip reaksi, dan sistem pendukung (Rusman, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran ditentukan oleh model yang digunakan.
Selain itu, perancang dan pembina pembelajaran dapat menggunakan model pembelajaran sebagai pedoman dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar guna mencapai tujuan pembelajaran. Dengan cara ini, pendidikan harus mengubah kurikulumnya secara drastis. Pendidikan tatap muka tradisional harus diadaptasi oleh guru untuk pendidikan tatap muka yang berani. Dimulai dengan perencanaan, kriteria kelulusan, penggunaan instrumen penilaian dan media yang tepat, serta pemberian umpan balik, guru harus mengubah sistem penyampaiannya (Tafonao, 2018). Berbagai model GP, diantaranya adalah model yang pertama pembelajaran inkuiri. Tujuan dari model pembelajaran ini adalah untuk menginspirasi siswa untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Siswa dituntut untuk mau berpikir kritis dan analitis sebagai bagian dari proses pembelajaran dengan cara ini. Kedua, model pembelajaran kontekstual, upaya guru untuk menghubungkan pelajaran dengan situasi dunia nyata. Ide-ide yang dibahas di kelas dapat diterapkan pada situasi dunia nyata, sehingga tidak hanya bayangan. Ketiga, model pengajaran ekspositori mengacu pada penjelasan guru tentang teori atau konsep. Siswa dalam model pembelajaran ini diharapkan dapat memahami materi secara utuh melalui penjelasan verbal guru. Keempat, model pembelajaran berbasis masalah, menekankan pemecahan masalah secara ilmiah (problem based learning). Kelima, model pembelajaran kooperatif. Siswa akan belajar secara berkelompok dengan menggunakan model pembelajaran ini untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Keenam, model pembelajaran berbasis proyek.
Sementara itu, sebagai kegiatan utama dalam pembelajaran, model pembelajaran berbasis proyek ini menjelma menjadi proyek atau kegiatan nyata. Model pembelajaran kuantum adalah kerangka Tumbuhkan, Alami, Namai, Tunjukkan, Ulangi, dan Rayakan yang digunakan dalam model ini. Dengan model ini, yel-yel biasanya digunakan untuk merayakan atau meningkatkan motivasi belajar. Salah satu aspek terpenting dari kebijakan belajar mandiri adalah GP. Dalam rangka pembenahan sistem pendidikan dimulai dari unit terkecil yaitu sekolah, GP ditunjuk sebagai agen perubahan. Pendidik yang aktif berkontribusi pada pengembangan visi transformasional, yang pada akhirnya menghasilkan penyebaran visi progresif ke semua pemangku kepentingan. Dengan menggunakan pendekatan inkuiri apresiatif, guru pengaktif memandu proses perubahan. Hal ini untuk meminimalisir resistensi kontraproduktif dengan menggali kekuatan dan potensi perubahan di dalam sekolah melalui proses dialog.