Oleh: Sri Wantoro, M.Pd.
Memenuhi kebutuhan belajar anak menjadi salah satu prioritas dalam capaian pembelajaran di era kurikulum merdeka dewasa ini. Pemenuhan kebutuhan belajar anak sebagai sebuah outcome dalam pendidikan, salah satunya, adalah mengantarkan anak untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dalam bingkai merdeka belajar.
Kemerdekaan anak dimaknai sebagai sebuah kepemimpinan siswa atau dapat diartikan dengan istilah self-regulated learning. Konsep merdeka ini memberikan ruang pada siswa memiliki kemerdekaannya untuk mengembangkan diri dalam proses pendidikan dan pengajaran yang mereka terima. Guru berperan untuk mendisiplinkan anak untuk memenuhi kebutuhan belajarnya agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan sebagai outcome pembelajaran.
Mendisiplinkan anak dalam konteks merdeka belajar dan self-regulated learning bukanlah semata membuat anak untuk tunduk dan taat pada serangkaian aturan yang sudah menjadi ketetapan ekosistem tingkat satuan pendidikan dengan guru memosisikan diri sebagai sosok penghukum, membuat orang merasa bersalah, atau sebagai supervisor. Akan tetapi, disiplin dalam konteks merdeka belajar cenderung kepada sebuah konsep dan realisasinya dalam proses pembentukan karakter peserta didik. Dengan kata lain, disiplin tidaklah cukup sebagai sebuah kepatuhan, tunduk, dan taat pada sebuah aturan tetapi disiplin adalah karakter. Karakter itu sendiri dimaknai sebagai sebuah seperangkat sifat yang menjadi tanda kebaikan, kebajikan, dan kematangan moral seorang. Secara etimologi, istilah karakter berarti tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian serta akhlak.
Disiplin sebagai sebuah karakter dimaknai sebagai self-regulated atau kesadaran diri karena motivasi dalam diri pribadi seseorang, siswa dalam hal ini. Tegasnya, disiplin adalah karakter yang didorong oleh motivasi diri (intrinsic motivation) sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan dasar diri setiap individu.
Dilihat dari perspektif psikologis, setiap pribadi akan berusaha memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dalam bersikap dan berperilaku. Pribadi-pribadi yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dengan sikap positif maka mereka cenderung memenuhi kebutuhan dasar sikap dengan hal-hal negatif. Dalam konteks inilah mereka, siswa, perlu dikasihani dalam proses pendidikan. Memperbaiki lakunya, bukan dasarnya; dimana setiap pribadi memiliki kodrat zaman (lakunya) dan kodrat alam (sifatnya).
Disiplin yang bukan merupakan fokus pada taat menjalankan aturan tetapi lebih kepada karakter tercermin dalam cerita berikut; seorang pengendara motor yang menaati aturan dengan mengenakan helm agar tidak ditilang oleh polisi sesungguhnya bukanlah makna dari disiplin (memakai helm agar tidak ditilang). Namun demikian, seorang pengendara motor yang mengenakan helm karena kebutuhan untuk melindungi kepala adalah makna dari sebuah disiplin. Alhasil, disiplinlah yang memotivasinya (self motivation). Sehingga, setiap berkendara motor selalu memakai helm meskipun di jalan sepi menuju kebun dibawah kaki bukit misalnya, dimana tidak ada petugas polisi yang mungkin akan menilang pengendara. Inilah perbedaan disiplin karena menegakkan aturan dan disiplin sebagai sebuah kebutuhan (disiplin adalah karakter).
Gambaran di atas sejalan dengan Asbabun Nuzul kata disiplin yang dalam konteks ini dimaknai sebagai sebuah awal istilah disiplin diperkenalkan pada masa Bahasa Inggris Pertengahan (Middle English, Englisch, atau Inglis) atau disingkat ME ialah jenis bahasa Inggris yang diucapkan setelah serangan Norman pada tahun 1066 hingga pertengahan / akhir 1400-an. Dikatakan bahwa “in term of its origin, the word in these sense (“discipline”) is most immediately derived from Middle English meaning “mortification by scourging oneself.” Ungkapan istilah disiplin pada era Middle English diartikan sebagai mortification atau perasaan malu / aib / hinaan dan scourging oneself diartikan sebagai mencambuk / menghukum diri sendiri. Gabungan dari kedua makna kata tersebut, kata disiplin lebih tepat dimaknai sebagai sebuah karakter diri yang dimaknai sebagai sebuah tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian serta akhlak seseorang.
Dalam perspektif Middle English, disiplin ternyata adalah karakter memenuhi kebutuhan dasar diri bukan taat pada aturan. Disiplin inilah yang selanjutnya menjadi bagian dari merdeka belajar. Merdeka dimaknai sebagai proses pembelajaran memerdekakan jiwa-jiwa agar tumbuh kesadaran diri dan karakter diri guna memenuhi kebutuhan lakunya dengan hal-hal positif agar kekurangan anak (kodrat alamnya) tidak lagi berlaku, memperbaiki laku anak (kodrat zaman) bukan dasarnya (kodrat alam) dengan, salah satunya, menanamkan disiplin sebagai sebuah karakter.
Namun demikian, kata disiplin juga diartikan sebagai sebuah upaya melatih orang agar taat pada aturan (Concise Oxford Dictionary) dan ketaatan dan kepatuhan pada aturan (KBBI online). Definisi kata disiplin yang merujuk pada ketaatan atau kepatuhan pada aturan belum memenuhi kaidah sebagai sebuah karakter dimana upaya pendisiplinan orang untuk taat dan patuh pada aturan merupakan motivasi dari luar. Ini menyebabkan seseorang taat dan patuh pada aturan karena berbagai hal, motivasi dari luar, seperti: takut dihukum, agar dapat hadiah, pujian, dan lainnya. Ini sejalan dengan pendapat Anna Soter seorang profesor bidang pendidikan dalam artikelnya berjudul “What’s the Dicipline in Education,” yang mengkritisi tidak berkesesuaian antara makna disiplin yang sesungguhnya pada Middle English, disiplin diartikan sebagai sebuah karakter (“mortification by scourging oneself”) sementara dewasa ini dalam dunia pendidikan disiplin berkembang dan dimaknai sebagai sebuah upaya untuk memaksa anak-anak taat dan patuh pada aturan yang telah menjadi ketetapan tingkat satuan pendidikan. Anna Soter menegaskan untuk berhentilah berdalih bahwa penerapan kata disiplin telah mengalami pergeseran dari sejarah makna asal-usul kata disiplin itu sendiri. Sebagaimana dikatakan bahwa, “it may just be the time for us to cease quibbling about whether or not it’s a discipline given that term was applied for quite different purpose and within a different historical context.” Pada akhirnya proses pembentukan karakterlah melalui proses pendisiplinan yang dapat memenuhi kebutuhan anak bukan semata taat pada aturan.