Artikel

Gerhana Matahari (Bulan) Dalam Perspektif Budaya Serta Pentingnya Kehadiran Planetarium Untuk Masyarakat Bangka Belitung

Oleh: Febri Zainuddin, S.Pd., M.Si.

Tanpa penjelasan ilmiah, penggelapan Matahari (atau Bulan) selama gerhana akan menjadi peristiwa yang mengagetkan dan membuat masyarakat bertanya-tanya bagaimana peristiwa alam ini terjadi. Sepanjang sejarah, gerhana telah dilihat sebagai gangguan terhadap tatanan alam, individu serta banyak kelompok masyarakat mempercayainya bahkan menjurus takhayul sebagai pertanda buruk. Banyak miskonsepsi yang telah melekat dalam pikiran masyarakat, pada saat terjadinya gerhana Matahari (atau Bulan) seperti; jangan berada di luar rumah, segera bersembunyi di bawah meja, orang hamil dilarang keluar rumah, Jika wanita hamil keluar rumah saat gerhana maka saat lahir anaknya akan buta dan memiliki bibir sumbing, dan beberapa orang menolak makan selama gerhana matahari. Mereka menjauhi makanan yang belum dimakan. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa makanan yang dimasak saat gerhana matahari sudah terpapar racun dan kotor.

Miskonsepsi bahkan fobia masyarakat terhadap peristiwa gerhana ini menjadi perhatian presiden pertama Indonesia yakni Ir. Soekarno sehingga beliau membangun Planetarium di Komplek Taman Ismail Marzuki Cikini DKI Jakarta. Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 9 September 1964 saat pemancangan Tiang Pertama pembangunan Proyek Gedung Planetarium, berkata:

Dengan demikian bisa diterangkan kepada rakjat
sebagai tadi dikatakan oleh Saudara Sutami,
Gerhana Bulan itu bukan kok ada Betoro Kolo ngrikiti Bulan, tidak.”

“Misalnja kita ini masih banjak jang ber-gugon tuhon, bertachajul,
mengira bahwa gerhana karena Bulan digrogoti oleh Betoro Kolo

“Mengira sadja bahwa Gerhana Bulan atau Matahari
bahwa Betoro Kolo sedang nggrogoti Bulan dan Matahari”.

Ref.: Sawitar, W., 2015, 2021.

 

Keterangan:

Ngrikiti adalah mengerip atau menggigit sedikit demi sedikit.

Gugon tuhon adalah mudah percaya takhayul

Sutami adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik era presiden Soekarno-Soeharto. Dikenal sebagai “Menteri Termiskin Indonesia” pada dua era kepemimpinan bangsa.

 

Banyak orang di masa lalu bahkan orang-orang di masa kini mendapatkan penjelasan spiritual berkaitan dengan gerhana matahari dan bulan untuk membantu mereka memahami fenomena yang tampaknya tidak dapat dijelaskan dan terlihat sulit untuk dimengerti. Berikut ini berbagai cerita mitos orang-orang dulu yang berkaitan dengan peristiwa gerhana Matahari (atau Bulan) dari berbagai belahan dunia.

 

  • Pemahaman masyarakat Tiongkok tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Dalam masyarakat Tiongkok kuno, umumnya meyakini bahwa gerhana matahari terjadi ketika naga langit menyerang dan melahap Matahari. Catatan gerhana Tiongkok termasuk yang tertua di dunia dan berusia lebih dari 4.000 tahun; setidaknya hanya satu yakni menyatakan "Matahari telah dimakan." Untuk menakut-nakuti naga dan menyelamatkan Matahari, orang akan menabuh genderang dan membuat suara keras selama gerhana. Karena Matahari selalu kembali setelah kejadian yang menghebohkan ini, dan hingga saat ini masih ada kita temukan tradisi tersebut. Menariknya, tampaknya orang Tionghoa kuno tidak terlalu terganggu oleh gerhana bulan, dan satu teks dari sekitar 90 sebelum masehi menolaknya sebagai "masalah yang biasa terjadi".

 

  • Pemahaman masyarakat India tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Mitologi Hindu kuno memberikan penjelasan yang agak gamblang berkenaan gerhana matahari. Menurut legenda di masyarakat India, iblis licik bernama Rahu berusaha meminum nektar para dewa dan bertujuan untuk mencapai keabadian. Menyamar sebagai wanita, Rahu berusaha menghadiri perjamuan para dewa dan ditemukan oleh Wisnu. Sebagai hukuman, iblis itu segera dipenggal, dan kepalanya yang dipenggal terbang melintasi langit yang menggelapkan Matahari selama gerhana. Beberapa versi mengatakan bahwa Rahu sebenarnya bisa mencuri seteguk nektar tetapi dipenggal kepalanya sebelum obat mujarab mencapai seluruh tubuhnya. Kepalanya yang abadi, terus-menerus mengejar Matahari, terkadang menangkap dan menelannya, tetapi Matahari dengan cepat muncul kembali, karena Rahu tidak memiliki tenggorokan.

 

  • Pemahaman suku Inca tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Suku Inca di Amerika Selatan menyembah Inti, dewa matahari yang maha kuasa. Inti secara umum diyakini baik hati, tetapi gerhana matahari dipahami sebagai tanda kemarahan dan ketidaksenangannya. Setelah gerhana, para pemimpin spiritual akan berusaha untuk mengetahui sumber kemarahannya dan menentukan pengorbanan mana yang harus dipersembahkan. Meskipun suku Inca jarang melakukan pengorbanan manusia, diperkirakan bahwa gerhana terkadang dianggap cukup serius untuk dilakukan. Pemimpin suku sering menarik diri dari tugas kegiatan rutin di suku ini selama dan setelah gerhana.

 

  • Pemahaman Masyarakat asli Amerika tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Menurut legenda Choctaw, penyebab gerhana adalah tupai hitam nakal yang menggerogoti Matahari. Seperti naga Cina, tupai harus ditakuti oleh keributan dan teriakan manusia yang menyaksikan peristiwa itu. Orang Ojibwa dan Cree memiliki cerita bahwa seorang anak laki-laki (mirip kurcaci) bernama Tcikabis membalas dendam pada Matahari karena telah membakarnya. Terlepas dari protes saudara perempuannya, dia menjerat Matahari, menyebabkan gerhana. Berbagai hewan mencoba melepaskan Matahari dari perangkap, tetapi hanya tikus rendahan yang bisa mengunyah tali dan mengembalikan Matahari ke jalurnya.

 

  • Pemahaman Masyarakat Afrika Barat tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Batammaliba adalah suku kuno yang berada di Togo utara dan Benin. Menurut cerita turun temurun di suku mereka, kemarahan dan pertempuran manusia menyebar ke Matahari dan Bulan, yang mulai berkelahi satu sama lain dan menyebabkan gerhana. Ibu pertama yang legendaris, Puka Puka dan Kuiyecoke, mendesak penduduk desa untuk menunjukkan perdamaian kepada Matahari dan Bulan untuk meyakinkan mereka menghentikan perkelahian mereka. Selama gerhana, orang Batammaliba menebus perseteruan lama dan berkumpul dengan tertib untuk mendorong perdamaian antara benda langit.

 

  • Pemahaman Masyarakat Mesir tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Anehnya, orang Mesir kuno tidak meninggalkan catatan eksplisit yang merinci gerhana matahari, meskipun peristiwa seperti itu pasti telah diamati oleh para penyembah matahari yang paham astronomi ini. Beberapa sarjana berpendapat bahwa mungkin gerhana sangat sulit dijelaskan dan sengaja dibiarkan tidak tercatat agar tidak "membiarkan peristiwa tersebut terhadap tingkat keabadian yang mereka sembah saat itu" yakni dewa matahari Re (Ra). Seorang sejarawan Mesir kuno telah menyarankan bahwa tidak adanya referensi yang tampaknya metaforis sejalan dengan historis lini masa gerhana dan mungkin merupakan catatan simbolis dari peristiwa ini. Atau mungkin catatan papirus hilang begitu saja karena waktu.

 

  • Pemahaman Masyarakat Norse di Eropa Utara tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Dalam mitologi Norse yang dianggap berasal, bangsa Viking dari Eropa Utara percaya bahwa selama gerhana matahari total, Matahari dimakan oleh dua serigala yang dikenal sebagai Skoll dan Hati. Menurut legenda, kedua serigala ini lapar akan benda langit, dengan Skoll yang memiliki selera Bulan dan Hati yang menyukai Matahari. Selama gerhana, mereka percaya bahwa serigala telah mengejar mangsanya. Kembali ke bumi, Viking akan berteriak dan berteriak dalam upaya menakut-nakuti Skoll dan Hati dan membiarkan Bulan melewati Matahari. Untung juga berhasil, karena Viking juga percaya bahwa jika Skoll dan Hati berhasil memakan Bulan dan Matahari, itu akan menunjukkan kiamat yang tertunda, yang dikenal sebagai Ragnarok.

 

  • Pemahaman Masyarakat Jepang tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Dari tanah Jepang pun dijumpai kisah terkait gerhana (kompilasi oleh Takao Ibaraki dan Norio Kaifu) (Ref.: Stars of Asia, 2009). Dahulu kala saat Bumi dan langit terpisah, lahirlah di langit Dewa Izanaki dan Dewi Izanami. Mereka menciptakan kepulauan Jepang. Juga melahirkan banyak dewa termasuk 3 Dewa utama Ama-terasu, Tuku-yomi, dan Susano-o. Izanaki mengamanatkan Amaterasu, Dewa Matahari untuk mengawasi langit, Tuku-yomi, Dewa Bulan untuk mengawasi langit malam, Susano-o untuk mengawasi lautan. Saat Izanami mengalami kematian, Susano-o senantiasa menangis dengan suara sedemikian keras membuat pepohonan di hutan mati, raungannya membuat badai terjadi dimana-mana. Tingkahnya membuat luluh lantaknya area persawahan dan di sekitarnya. Ama-terasu tidak sanggup menghentikannya, istananya pun rusak dibuatnya dan lalu bersembunyi di gua langit Ama-noiwato dan menutupnya sedemikian dunia menjadi gelap gulita. Keburukan dan bencana pun melanda Bumi. Para dewa terus berusaha yang salah satunya dengan cara menaruh cermin di depan gua, dan keceriaan Dewi Ame-no-uzume menari di depan gua tersebut membuat Ama-terasu penasaran dan membuka pintu gua. Melihat pantulan dirinya di cermin membuat Ama-terasu bergerak keluar. Saat itulah Dewa Tajikara-o secepatnya menarik tangan Ama-terasu sehingga seluruh tubuhnya kembali keluar gua dan dunia pun kembali terang benderang.

 

  • Pemahaman Masyarakat Indonesia tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Di Indonesia terdapat cerita rakyat terkait gerhana dengan tokoh yang mirip, yaitu Batara Kala/Rembu Culung/Rahu/Ketu. Sementara itu, di Indonesia secara lisan (oral tradition) dijumpai ada 2 versi. Namun, apabila melihat manuscript dalam “1981, Manikmaya I, Dept P&K, Jakarta, p.100-110; terjemahan Sri Sumarsih”, maka bukan Batara Kala yang memakan Matahari/Bulan melainkan Rembu Culung atau Wuluculung (saudara dari Batara/Batari Uma atau yang kemudian dikenal sebagai Batari Durga yang tidak lain istri dari Batara Guru).

Pada versi Bab VI Adiparwa ada tokoh raksasa (Kala Rahu), anak dari Sang Wipracitti dan Sang Singhika. Terlepas dari adanya variasi ini, maka inilah tinggalan yang luar biasa. Istilah yang ada dalam fenomena Gerhana Matahari Total di Jawa Tengah adalah Bagowong, Pagowong, Parwakala, dan Coblong. Dalam kisah keduanya bahwa badan Wuluculung inilah yang jatuh ke Bumi menjadi lesung. Karenanya, tatkala terjadi gerhana, masyarakat memiliki kebiasaan memukul lesung. (Ref.: Sawitar, W., 2015, 2021).

Beraneka ragam kisah tentang gerhana yang dijumpai di seluruh dunia sangat menarik untuk disimak sebagai pelestarian kekayaan khasanah budaya manusia. Yang tidak kalah menariknya dari kisah di atas adalah adanya adat kebiasaan masyarakat tertentu yang begitu menarik ketika gerhana terjadi. Sebut saja semisal memukul kentongan, bersembunyi dirumahnya, menutup rapat semua pintu dan jendela rumah, menutup sumur dan tempayan, menyelam di sungai, memukul-mukul pohon kelapa, hingga perempuan hamil yang bersembunyi di bawah tempat tidur, dsb. Hal ini sejatinya adalah cerminan adanya rasa ketakutan psikologis akibat kepercayaan terhadap mitos gerhana. Namun, ada pula yang justru menganggap hal ini sebagai salah satu anugerah yang dapat memperkuat pemikiran manusia tentang letak dirinya di luasnya alam semesta bahkan menguatkan iman mereka bahwa alam semesta ada yang menciptakannya.

Beberapa kisah di atas sekedar gambaran budaya terkait gerhana Bulan dan Matahari .Akhirnya masyarakat sadar bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi spiritual yang diperoleh dari agama yang dianutnya, membuat miskonsepsi di masyarakat lambat laun akan berangsur-angsur berubah menuju berpikir saintifik dan tidak phobia lagi saat terjadinya peristiwa gerhana Matahari dan Bulan di masa depan.

 

PLANETARIUM, JENDELA PENGETAHUAN KOSMIK MASYARAKAT BANGKA BELITUNG

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berkeinginan membangun planetarium yang diharapkan menjadi jendela pengetahuan kosmik (hal-hal yang berkaitan dengan benda-benda langit) untuk masyarakat Bangka Belitung. Sebagai bentuk keseriusannya, Pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah melakukan nota kesepahaman bahkan hingga ke tingkat Detail Engineering Design (DED) dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dengan dibangunnya Planetarium, masyarakat Babel tidak perlu pergi jauh bila ingin ke Planetarium seperti ke Planetarium DKI Jakarta atau bangunan yang lebih besar seperti Observatorium Bosscha di Lembang Bandung Barat untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa kosmik. Masyarakat Bangka Belitung sangat familiar dengan wisata pantai dan wisata tema geologi seperti Museum Timah, namun sangat awam dengan wisata bertema benda-benda langit seperti Bulan, Matahari, Bintang, Meteorit, dan lain-lain. Selain itu, penting diketahui bahwa jumlah planetarium berdekatan dengan garis khatulistiwa termasuk sedikit di Indonesia.

Sarana dan prasarana di dalam planetarium memiliki keunggulan karena dirancang secara khusus agar masyarakat dapat menonton teater immerse tentang alam semesta, praktik STEM (Science, Technology, Engineering and Math) berpemandu, astrocamp atau kemah astro dibekali teleskop terbaik, astrofotografi, bahkan dilengkapi fasilitas pengamatan hilal. Pembangunan Planetarium juga dapat disinergikan dengan pengembangan sumber daya manusia dan berguna sebagai Pusat Pendidikan Sains Siswa Berbakat.

Selain itu, planetarium merupakan sarana yang turut mendukung konservasi langit gelap untuk menekan polusi cahaya. Kita ketahui bahwa Bangka Belitung memiliki fauna endemik yang sensitif dan mereka sangat terganggu dengan kehadiran cahaya artifisial (cahaya buatan) manusia dan harus kita lestarikan seperti Menitilin (Tarsius Bancanus) yang memerlukan suasana gelap dalam beraktifitas serta penyu sisik (Eretmochelys imbricata) memerlukan kondisi gelap saat mengubur dan memanfaatkan hangatnya pasir pantai untuk mengerami telur-telur mereka. Ini sejalan dengan kegiatan utama pengamatan benda-benda langit di malam hari di planetarium yang memerlukan langit gelap minim cahaya buatan manusia.

Keberadaan planetarium menjadi pusat sains yang bernuansa astronomi diharapkan mampu mengubah budaya masyarakat mengenali peristiwa kosmik yang tidak perlu ditakuti dan memberikan pelajaran mitigasi bencana kosmik di masa depan. Masyarakat akhirnya dapat belajar mengenai konsep-konsep sains yang diilustrasikan dan dijelaskan melalui alat peraga yang dapat dicoba dan dieksplorasi oleh pengunjung (learning by doing), sehingga melalui pengalaman bereksperimen (experimenting) pengunjung dapat menemukan ‘keajaiban’ sains dan teknologi (discovering). Pada akhirnya, dengan adanya planetarium diharapkan masyarakat Bangka Belitung tidak perlu fobia dengan peristiwa kosmik, mendapatkan pengalaman sains eduwisata yang menyenangkan serta menjadi wisata alternatif selain wisata pantai.

Tanpa penjelasan ilmiah, penggelapan Matahari (atau Bulan) selama gerhana akan menjadi peristiwa yang mengagetkan dan membuat masyarakat bertanya-tanya bagaimana peristiwa alam ini terjadi. Sepanjang sejarah, gerhana telah dilihat sebagai gangguan terhadap tatanan alam, individu serta banyak kelompok masyarakat mempercayainya bahkan menjurus takhayul sebagai pertanda buruk. Banyak miskonsepsi yang telah melekat dalam pikiran masyarakat, pada saat terjadinya gerhana Matahari (atau Bulan) seperti; jangan berada di luar rumah, segera bersembunyi di bawah meja, orang hamil dilarang keluar rumah, Jika wanita hamil keluar rumah saat gerhana maka saat lahir anaknya akan buta dan memiliki bibir sumbing, dan beberapa orang menolak makan selama gerhana matahari. Mereka menjauhi makanan yang belum dimakan. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa makanan yang dimasak saat gerhana matahari sudah terpapar racun dan kotor.

Miskonsepsi bahkan fobia masyarakat terhadap peristiwa gerhana ini menjadi perhatian presiden pertama Indonesia yakni Ir. Soekarno sehingga beliau membangun Planetarium di Komplek Taman Ismail Marzuki Cikini DKI Jakarta. Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 9 September 1964 saat pemancangan Tiang Pertama pembangunan Proyek Gedung Planetarium, berkata:

Dengan demikian bisa diterangkan kepada rakjat
sebagai tadi dikatakan oleh Saudara Sutami,
Gerhana Bulan itu bukan kok ada Betoro Kolo ngrikiti Bulan, tidak.”

“Misalnja kita ini masih banjak jang ber-gugon tuhon, bertachajul,
mengira bahwa gerhana karena Bulan digrogoti oleh Betoro Kolo

“Mengira sadja bahwa Gerhana Bulan atau Matahari
bahwa Betoro Kolo sedang nggrogoti Bulan dan Matahari”.

Ref.: Sawitar, W., 2015, 2021.

 

Keterangan:

Ngrikiti adalah mengerip atau menggigit sedikit demi sedikit.

Gugon tuhon adalah mudah percaya takhayul

Sutami adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik era presiden Soekarno-Soeharto. Dikenal sebagai “Menteri Termiskin Indonesia” pada dua era kepemimpinan bangsa.

 

Banyak orang di masa lalu bahkan orang-orang di masa kini mendapatkan penjelasan spiritual berkaitan dengan gerhana matahari dan bulan untuk membantu mereka memahami fenomena yang tampaknya tidak dapat dijelaskan dan terlihat sulit untuk dimengerti. Berikut ini berbagai cerita mitos orang-orang dulu yang berkaitan dengan peristiwa gerhana Matahari (atau Bulan) dari berbagai belahan dunia.

 

  • Pemahaman masyarakat Tiongkok tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Dalam masyarakat Tiongkok kuno, umumnya meyakini bahwa gerhana matahari terjadi ketika naga langit menyerang dan melahap Matahari. Catatan gerhana Tiongkok termasuk yang tertua di dunia dan berusia lebih dari 4.000 tahun; setidaknya hanya satu yakni menyatakan "Matahari telah dimakan." Untuk menakut-nakuti naga dan menyelamatkan Matahari, orang akan menabuh genderang dan membuat suara keras selama gerhana. Karena Matahari selalu kembali setelah kejadian yang menghebohkan ini, dan hingga saat ini masih ada kita temukan tradisi tersebut. Menariknya, tampaknya orang Tionghoa kuno tidak terlalu terganggu oleh gerhana bulan, dan satu teks dari sekitar 90 sebelum masehi menolaknya sebagai "masalah yang biasa terjadi".

 

  • Pemahaman masyarakat India tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Mitologi Hindu kuno memberikan penjelasan yang agak gamblang berkenaan gerhana matahari. Menurut legenda di masyarakat India, iblis licik bernama Rahu berusaha meminum nektar para dewa dan bertujuan untuk mencapai keabadian. Menyamar sebagai wanita, Rahu berusaha menghadiri perjamuan para dewa dan ditemukan oleh Wisnu. Sebagai hukuman, iblis itu segera dipenggal, dan kepalanya yang dipenggal terbang melintasi langit yang menggelapkan Matahari selama gerhana. Beberapa versi mengatakan bahwa Rahu sebenarnya bisa mencuri seteguk nektar tetapi dipenggal kepalanya sebelum obat mujarab mencapai seluruh tubuhnya. Kepalanya yang abadi, terus-menerus mengejar Matahari, terkadang menangkap dan menelannya, tetapi Matahari dengan cepat muncul kembali, karena Rahu tidak memiliki tenggorokan.

 

  • Pemahaman suku Inca tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Suku Inca di Amerika Selatan menyembah Inti, dewa matahari yang maha kuasa. Inti secara umum diyakini baik hati, tetapi gerhana matahari dipahami sebagai tanda kemarahan dan ketidaksenangannya. Setelah gerhana, para pemimpin spiritual akan berusaha untuk mengetahui sumber kemarahannya dan menentukan pengorbanan mana yang harus dipersembahkan. Meskipun suku Inca jarang melakukan pengorbanan manusia, diperkirakan bahwa gerhana terkadang dianggap cukup serius untuk dilakukan. Pemimpin suku sering menarik diri dari tugas kegiatan rutin di suku ini selama dan setelah gerhana.

 

  • Pemahaman Masyarakat asli Amerika tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Menurut legenda Choctaw, penyebab gerhana adalah tupai hitam nakal yang menggerogoti Matahari. Seperti naga Cina, tupai harus ditakuti oleh keributan dan teriakan manusia yang menyaksikan peristiwa itu. Orang Ojibwa dan Cree memiliki cerita bahwa seorang anak laki-laki (mirip kurcaci) bernama Tcikabis membalas dendam pada Matahari karena telah membakarnya. Terlepas dari protes saudara perempuannya, dia menjerat Matahari, menyebabkan gerhana. Berbagai hewan mencoba melepaskan Matahari dari perangkap, tetapi hanya tikus rendahan yang bisa mengunyah tali dan mengembalikan Matahari ke jalurnya.

 

  • Pemahaman Masyarakat Afrika Barat tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Batammaliba adalah suku kuno yang berada di Togo utara dan Benin. Menurut cerita turun temurun di suku mereka, kemarahan dan pertempuran manusia menyebar ke Matahari dan Bulan, yang mulai berkelahi satu sama lain dan menyebabkan gerhana. Ibu pertama yang legendaris, Puka Puka dan Kuiyecoke, mendesak penduduk desa untuk menunjukkan perdamaian kepada Matahari dan Bulan untuk meyakinkan mereka menghentikan perkelahian mereka. Selama gerhana, orang Batammaliba menebus perseteruan lama dan berkumpul dengan tertib untuk mendorong perdamaian antara benda langit.

 

  • Pemahaman Masyarakat Mesir tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Anehnya, orang Mesir kuno tidak meninggalkan catatan eksplisit yang merinci gerhana matahari, meskipun peristiwa seperti itu pasti telah diamati oleh para penyembah matahari yang paham astronomi ini. Beberapa sarjana berpendapat bahwa mungkin gerhana sangat sulit dijelaskan dan sengaja dibiarkan tidak tercatat agar tidak "membiarkan peristiwa tersebut terhadap tingkat keabadian yang mereka sembah saat itu" yakni dewa matahari Re (Ra). Seorang sejarawan Mesir kuno telah menyarankan bahwa tidak adanya referensi yang tampaknya metaforis sejalan dengan historis lini masa gerhana dan mungkin merupakan catatan simbolis dari peristiwa ini. Atau mungkin catatan papirus hilang begitu saja karena waktu.

 

  • Pemahaman Masyarakat Norse di Eropa Utara tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Dalam mitologi Norse yang dianggap berasal, bangsa Viking dari Eropa Utara percaya bahwa selama gerhana matahari total, Matahari dimakan oleh dua serigala yang dikenal sebagai Skoll dan Hati. Menurut legenda, kedua serigala ini lapar akan benda langit, dengan Skoll yang memiliki selera Bulan dan Hati yang menyukai Matahari. Selama gerhana, mereka percaya bahwa serigala telah mengejar mangsanya. Kembali ke bumi, Viking akan berteriak dan berteriak dalam upaya menakut-nakuti Skoll dan Hati dan membiarkan Bulan melewati Matahari. Untung juga berhasil, karena Viking juga percaya bahwa jika Skoll dan Hati berhasil memakan Bulan dan Matahari, itu akan menunjukkan kiamat yang tertunda, yang dikenal sebagai Ragnarok.

 

  • Pemahaman Masyarakat Jepang tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Dari tanah Jepang pun dijumpai kisah terkait gerhana (kompilasi oleh Takao Ibaraki dan Norio Kaifu) (Ref.: Stars of Asia, 2009). Dahulu kala saat Bumi dan langit terpisah, lahirlah di langit Dewa Izanaki dan Dewi Izanami. Mereka menciptakan kepulauan Jepang. Juga melahirkan banyak dewa termasuk 3 Dewa utama Ama-terasu, Tuku-yomi, dan Susano-o. Izanaki mengamanatkan Amaterasu, Dewa Matahari untuk mengawasi langit, Tuku-yomi, Dewa Bulan untuk mengawasi langit malam, Susano-o untuk mengawasi lautan. Saat Izanami mengalami kematian, Susano-o senantiasa menangis dengan suara sedemikian keras membuat pepohonan di hutan mati, raungannya membuat badai terjadi dimana-mana. Tingkahnya membuat luluh lantaknya area persawahan dan di sekitarnya. Ama-terasu tidak sanggup menghentikannya, istananya pun rusak dibuatnya dan lalu bersembunyi di gua langit Ama-noiwato dan menutupnya sedemikian dunia menjadi gelap gulita. Keburukan dan bencana pun melanda Bumi. Para dewa terus berusaha yang salah satunya dengan cara menaruh cermin di depan gua, dan keceriaan Dewi Ame-no-uzume menari di depan gua tersebut membuat Ama-terasu penasaran dan membuka pintu gua. Melihat pantulan dirinya di cermin membuat Ama-terasu bergerak keluar. Saat itulah Dewa Tajikara-o secepatnya menarik tangan Ama-terasu sehingga seluruh tubuhnya kembali keluar gua dan dunia pun kembali terang benderang.

 

  • Pemahaman Masyarakat Indonesia tentang gerhana Matahari (gerhana Bulan)

Di Indonesia terdapat cerita rakyat terkait gerhana dengan tokoh yang mirip, yaitu Batara Kala/Rembu Culung/Rahu/Ketu. Sementara itu, di Indonesia secara lisan (oral tradition) dijumpai ada 2 versi. Namun, apabila melihat manuscript dalam “1981, Manikmaya I, Dept P&K, Jakarta, p.100-110; terjemahan Sri Sumarsih”, maka bukan Batara Kala yang memakan Matahari/Bulan melainkan Rembu Culung atau Wuluculung (saudara dari Batara/Batari Uma atau yang kemudian dikenal sebagai Batari Durga yang tidak lain istri dari Batara Guru).

Pada versi Bab VI Adiparwa ada tokoh raksasa (Kala Rahu), anak dari Sang Wipracitti dan Sang Singhika. Terlepas dari adanya variasi ini, maka inilah tinggalan yang luar biasa. Istilah yang ada dalam fenomena Gerhana Matahari Total di Jawa Tengah adalah Bagowong, Pagowong, Parwakala, dan Coblong. Dalam kisah keduanya bahwa badan Wuluculung inilah yang jatuh ke Bumi menjadi lesung. Karenanya, tatkala terjadi gerhana, masyarakat memiliki kebiasaan memukul lesung. (Ref.: Sawitar, W., 2015, 2021).

Beraneka ragam kisah tentang gerhana yang dijumpai di seluruh dunia sangat menarik untuk disimak sebagai pelestarian kekayaan khasanah budaya manusia. Yang tidak kalah menariknya dari kisah di atas adalah adanya adat kebiasaan masyarakat tertentu yang begitu menarik ketika gerhana terjadi. Sebut saja semisal memukul kentongan, bersembunyi dirumahnya, menutup rapat semua pintu dan jendela rumah, menutup sumur dan tempayan, menyelam di sungai, memukul-mukul pohon kelapa, hingga perempuan hamil yang bersembunyi di bawah tempat tidur, dsb. Hal ini sejatinya adalah cerminan adanya rasa ketakutan psikologis akibat kepercayaan terhadap mitos gerhana. Namun, ada pula yang justru menganggap hal ini sebagai salah satu anugerah yang dapat memperkuat pemikiran manusia tentang letak dirinya di luasnya alam semesta bahkan menguatkan iman mereka bahwa alam semesta ada yang menciptakannya.

Beberapa kisah di atas sekedar gambaran budaya terkait gerhana Bulan dan Matahari .Akhirnya masyarakat sadar bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi spiritual yang diperoleh dari agama yang dianutnya, membuat miskonsepsi di masyarakat lambat laun akan berangsur-angsur berubah menuju berpikir saintifik dan tidak phobia lagi saat terjadinya peristiwa gerhana Matahari dan Bulan di masa depan.

 

PLANETARIUM, JENDELA PENGETAHUAN KOSMIK MASYARAKAT BANGKA BELITUNG

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berkeinginan membangun planetarium yang diharapkan menjadi jendela pengetahuan kosmik (hal-hal yang berkaitan dengan benda-benda langit) untuk masyarakat Bangka Belitung. Sebagai bentuk keseriusannya, Pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah melakukan nota kesepahaman bahkan hingga ke tingkat Detail Engineering Design (DED) dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dengan dibangunnya Planetarium, masyarakat Babel tidak perlu pergi jauh bila ingin ke Planetarium seperti ke Planetarium DKI Jakarta atau bangunan yang lebih besar seperti Observatorium Bosscha di Lembang Bandung Barat untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa kosmik. Masyarakat Bangka Belitung sangat familiar dengan wisata pantai dan wisata tema geologi seperti Museum Timah, namun sangat awam dengan wisata bertema benda-benda langit seperti Bulan, Matahari, Bintang, Meteorit, dan lain-lain. Selain itu, penting diketahui bahwa jumlah planetarium berdekatan dengan garis khatulistiwa termasuk sedikit di Indonesia.

Sarana dan prasarana di dalam planetarium memiliki keunggulan karena dirancang secara khusus agar masyarakat dapat menonton teater immerse tentang alam semesta, praktik STEM (Science, Technology, Engineering and Math) berpemandu, astrocamp atau kemah astro dibekali teleskop terbaik, astrofotografi, bahkan dilengkapi fasilitas pengamatan hilal. Pembangunan Planetarium juga dapat disinergikan dengan pengembangan sumber daya manusia dan berguna sebagai Pusat Pendidikan Sains Siswa Berbakat.

Selain itu, planetarium merupakan sarana yang turut mendukung konservasi langit gelap untuk menekan polusi cahaya. Kita ketahui bahwa Bangka Belitung memiliki fauna endemik yang sensitif dan mereka sangat terganggu dengan kehadiran cahaya artifisial (cahaya buatan) manusia dan harus kita lestarikan seperti Menitilin (Tarsius Bancanus) yang memerlukan suasana gelap dalam beraktifitas serta penyu sisik (Eretmochelys imbricata) memerlukan kondisi gelap saat mengubur dan memanfaatkan hangatnya pasir pantai untuk mengerami telur-telur mereka. Ini sejalan dengan kegiatan utama pengamatan benda-benda langit di malam hari di planetarium yang memerlukan langit gelap minim cahaya buatan manusia.

Keberadaan planetarium menjadi pusat sains yang bernuansa astronomi diharapkan mampu mengubah budaya masyarakat mengenali peristiwa kosmik yang tidak perlu ditakuti dan memberikan pelajaran mitigasi bencana kosmik di masa depan. Masyarakat akhirnya dapat belajar mengenai konsep-konsep sains yang diilustrasikan dan dijelaskan melalui alat peraga yang dapat dicoba dan dieksplorasi oleh pengunjung (learning by doing), sehingga melalui pengalaman bereksperimen (experimenting) pengunjung dapat menemukan ‘keajaiban’ sains dan teknologi (discovering). Pada akhirnya, dengan adanya planetarium diharapkan masyarakat Bangka Belitung tidak perlu fobia dengan peristiwa kosmik, mendapatkan pengalaman sains eduwisata yang menyenangkan serta menjadi wisata alternatif selain wisata pantai.

Penulis: 
Guru SMAN 1 Mendo Barat
Sumber: 
BTIKP